Sofyan S Harahap
FE Universitas Trisakti
http://sofyan.syafri.com
Sebenarnya sudah banyak ahli yang menyampaikan pesan revolusioner ini termasuk George Soros, tapi mainstream dan pejabat ekonomi belum menyadarinya. Dr Barbera adalah nama baru lain yang menggaungkannya dalam buku barunya. Dr Barbera adalah Executive Vice Presiden dan Chief Economist di Investment Technology Group, Dosen di John Hopkin University dan MIT, Bekerja sebagai ekonomis di Wall Street selama 26 tahun pernah menjadi staf ahli untuk Senator Paul Tsongas anggota Congressional Budget Office, Capitol Hill. Sering menulis I beberapa majalah Wall Street dan diwawancara CNBC dan New York Times. Kaliber beliau cukup berbobot untuk menggaungkan ide diatas.
Barbera menulis buku menarik, mudah difahami dan tepat waktu karena membahas masalah bagaimana memahami anomaly pasar dan bagaimaana sarannya menstabilkan ekonomi kita masa depan. Bukunya diberi judul: The Cost of Capitalism, understanding market Mayhem and stabilizing our economic future (McGraw Hill Book, 2009). Buku ini menarik karena:
1. Penulisnya open mind dan mengakui bahwa paradigma (we embraced the wrong paradigm, hal 4, 161, 215) atau teori ekonomi yang kita pakai sekarang ini salah dan perlu direvisi. Bahkan beliau mengajukan pertanyaan yang menantang: Sistem sekarang ini sama seperti peta yang salah, sehingga dia bertanya bagaimana mungkin kita terus berjalan dengan menggunakan peta yang tidak benar? Pasti sesat bukan?
2. Beliau mencoba menunjukkkan keterbatasan teori Keynes (uncertainty dan speculation), Schumpeter (creative destruction), dan Hyman Mensky (deflationary destruction) dan mencoba memintal pemikiran ketiga tokoh itu untuk menjawab krisis yang selalu terjadi dalam sistem kapitalisme. Pemikiran ketiga tokoh diatas adalah benar dalam konteksnya dan akan cocok jika ketiganya dipintal dalam satu system baru, ini yang dilakukan Barbera.
3. Dia masih meyakini ekonomi pasar dengan revisi paradigme dan menolak sama sekali sistem ekonomi sosialis atau sistem yang diatur oleh pemerintah.
4. Dia juga berpendapat bahwa tidak perduli berapa besar upaya Bank Sentral mengontrol (menurunkan dan menaikkan) tingkat bunga tetapi hal ini tidak mempengaruhi ekonomi riel (h 172).
5. Penulisnya seorang doktor ekonomi, berlatarbelakang insinyur dan praktisi pasar modal selama 30 tahun dan pernah bekerja di Kongres.
Tulisan ini akan mencoba menjelaskan bagaimana pemikiran beliau dalam menjawab krisis ekonomi yang sekarang kita hadapi. Dari judul bukunya dapat disarikan bahwa menurut beliau krisis yang selalu terjadi dalam sistem ekonomi kaptialisme adalah ”embeded” atau bagian dari sistem (h. 2) dan merupakan biaya sistem kapitalisme yang harus dibayar. Sayangnya dalam buku ini dia tidak membahas bahwa yang membayar adalah rakyat melalui berbagai kebijakan stimulus, bail out, dan pengambilalihan modal, dan sebagainya. Persis seperti apa yang kita alam pada tahun 1998 ketika uang rakyat sebesar hampir Rp 700 trilyun mebail out dana perbankan melalui BLBI. Sampai saat ini dana publik masih harus membayarnya yang menimbulkan berkurangnya oportunity untuk kemakmuran dan fasilitas rakyat.
Beberapa point penting pemikiran beliau adalah: Pertama: bahwa selama ini Pemerintah dan regulator tidak simetris (asymmetric response) dalam menghadapi fenomena ekonomi. Kita selalu fokus mengatasi krisis tetapi tidak pernah mengatasi dampak dari ekonomi booming. Jika terjadi situasi ekonomi yang maju, dengan pertumbuhan yang demikian cepat pemerintah dan pelaku ekonomi terlena. Siruasi ini disebutnya fenomena Creative destructive yang merupakan harga dari suatu kemajuan ekonomi. Menurut beliau jika terjadi situasi ekonomi yang bertumbuh cepat, inflasi rendah, full employement, ini merupakan tanda tanda bahaya yang harus disikapi sebagaimana kita menyikapi situasi krisis ekonomi. Selama ini hal ini tidak dilakukan Kedua: Akar krisisterjadi disebabkan fenomena kemajuan ekonomi yang sukses yang menimbulkan perilaku pelaku ekonomi (khususnya pemain pasar modal) yang bermain di Pasar Uang dan Modal, ”sucess breads excess” katanya. Dalam situasi ekonomi yang maju, pelaku pasar merasa percaya diri yang berdampak pada peningkatan utang melalui berbagai penciptaan ”uang” baru, portfolio, instrument keuangan, teknik dan engineering keuangan, penjaminan utang atau yang lebih dikenal Collateralized Debt Obligation, dsb. Masyarakat berani mengambil risiko tinggi (risk taker), dan menilai trend ekonomi yang tetap akan bagus yang melahirkan ”bubble economy” yang sudah melewati ambang batas aman atau ”margin of safety”. Ini merupakan wilayah ”behavioral finance” yang saat ini mulai menjadi perhatian sedangkan sebelumnya tidak. Situasi emas ini diberi istilah ”Goldilock Economy”. Ketiga: Kita tidak mungkin mengetahui apa yang terjadi dimasa yang akan datang, kita selalu berada dalam ketidakpastian atau ”uncertainty” sedangkan selama ini kita di buai oleh model model matematik yang seolah bisa menjadi alat prediksi (prediction model) yang akurat, pada hal sesungguhnya tidak. Kita atau dunia ini sebenarnya diatur oleh asumsi ketidakpastian yang seolah pasti (h 179) padahal sebaliknya. Prediksi pasti akan meleset karena semua orang akan selalu merubah fikirannya setiap saat sesuai dengan input informasi yang baru masuk dan pengaruh berbagai perilaku, pendapat, fakta, dan informsi para aktor. Kalaupun tepat bukan karena modal prediksinya. Sikap orang tidak statis tetapi dinamis sejalan dengan perjalanan waktu. Pendapat ini sejalan dengan pendapat George Soros dalam bukunya The Alchemy of Finance (2007).
Pelajaran apa yang bisa kita tarik dari pendapat Dr Barbare ini? Sistem kapitalsime adalah sistem yang secara sistemik akan mengalami fluktuasi yaitu ekonomi maju dan ekonomi krisis. Keduanya harus dihadapi dengan cara yang simetris dalam arti keduanya sama sama harus dianggap berbahaya sehingga perlu di hadapi sesuai masalahnya. Dalam setiap krisis ekonomi akar permasalahannya adalah jumlah utang yang besar, keberanian mengambil risiko yang terlalu berani, kesalahan dan asumsi prediksi yang salah seolah diangap masa depan bisa diramalkan, fokus yang terlalu berat pada membuat inflasi yang rendah, dan paradigma ekonomi ortodoks yang salah membuat kita selalu bergelut dengan krisis yang terus merambah secara periodik.
Muara dari pendapat beliau adalah: “Appropriate policy changes tied to a revamping of economic orthodoxy are needed to prevent mammoth crisis. It may well turn out that renewed commitment to free market capitalism, from chastened and wiser government leaders, will give us our best chance for prosperity in the 21st century”. (Perubahan kebijakan dikaitkan dengan perubahan pemikiran ekonomi ortodoks diperlukan untuk mencegah krisis besar. Ini mungkin harus memperbaharui komitmen kepada pasar bebas kapitalisme, dari pemimpin yang rendah hati dan bijaksana akan memberikan kita kesempatan untuk ksejahteraan di abad 21 ini).
Walaupun Robert Barbare belum menyentuh paradigma baru yang kayak mana yang harus diikuti, namun beliau telah mengangkat satu isu besar yang sudah diangkat juga oleh ekonom lainnya. Opini revolusioner ini menyatakan perlu perubahan paradigma dalam mengatur ekonomi kita. Dia menjelaskan kebijakan apa yang perlu untuk mengatasi krisi selama ini. Tugas kita selanjutnya adalah menyelesaikan pesan Barbare yang belum tuntas. Kita masih harus terus mencari paradigma ekonomi baru yang agar krisis krisis yang lebih besar tidak mensunami kita lagi. Dengan pengakuan seorang Robert J Barbare ini maka sudah seharusnya kita di Inodonesia mengingat banyaknya ahli ekonomi ortodoks, ahli ekonomi syariah, ekonomi Pancasila, ekonomi Kerakyatan, para ahli dan agamawan bisa bertemu dan merumuskan sistem ekonomi yang cocok dengan bangsa, ideologi, situasi, konteks Indonesia yang berbeda dari konteks Barat. Sistem ekonomi yang memasukkan paradgima yang benar termasuk nilai nilai moral dan agama didalamnya.