Etika dalam Liberalisasi Ekonomi
achsania 2011
Dalam hubungan ekonomi internasional, saat ini kecenderungan dunia mengarah pada liberalisasi ekonomi, ekonomi pasar, atau pasar persaingan bebas. Dalam pandangan murni penganut faham ini, diasumsikan mekanisme pasar akan dapat menyelesaikan semua persoalan ekonomi, sehingga perekonomian akan menuju pada keseimbangan (equilibrium). Dengan situasi yang demikian, tidak perlu dibuat berbagai aturan di pasar, termasuk etika ekonomi/bisnis, karena akan terdapat kekuatan-kekuatan yang tak nampak yang mendorong terjadinya proses keseimbangan di pasar (market) . Kemudian pertanyaan mendasar yang muncul adalah bagaimanakah peran etikadalam pasar bebas? Berkaitan dengan prinsip ekonomi yang sesuai dengan Islam muncul pertanyaan bagaimana harus mensikapi praktik globalisasi.
George W.Bush mengatakan : “..The concept of ‘free trade’ arose as a moral principle even before it became a pillar of economics. If you can make something that other value, ypu should be able to sell it to them. If other make something that you value, you should be able to buy it. This is a real freedom, the freedom for a person – or a nation – to make a living…”
Menurut ekonomi kapitalis (klasik) , pasar memainkan peranan yang sangat penting dalam sistem perekonomian. Ekonomi kapitalis menghendaki pasar bebas untuk menyelesaikan permasalahan ekonomi, mulai dari produksi, konsumsi sampai distribusi. Semboyan kapitalis adalah lassez faire et laissez le monde va de lui meme (Biarkan ia berbuat dan biarkan ia berjalan, dunia akan mengurus diri sendiri). Pengertian dari semboyan tersebut adalah biarkan sajalah perekonomian berjalan dengan wajar tanpa intervensi pemerintah, nanti akan ada suatu tangan tak terlihat (invisible hands) yang akan membawa perekonomian tersebut ke arah equilibrium. Jika banyak campur tangan pemerintah , maka pasar akan mengalami distorsi yang akan membawa perekonomian pada ketidakefisienan (inefisiency) dan ketidakseimbangan.
Menurut konsep tersebut, pasar yang paling baik adalah persaingan bebas (free competition), sedangkan harga dibentuk oleh oleh kaedah supply and demand. Prinsip pasar bebas akan menghasilkan equilibrium dalam masyarakat, di mana nantinya akan menghasilkan upah (wage) yang adil, harga barang (price) yang stabil dan kondisi tingkat pengangguran yang rendah (full employment). Untuk itu peranan negara dalam ekonomi sama sekali harus diminimalisir, sebab kalau negara turun campur bermain dalam ekonomi hanya akan menyingkirkan sektor swasta sehingga akhirnya mengganggu equilibrium pasar. Maka dalam paradigma kapitalisme, mekanisme pasar diyakini akan menghasilkan suatu keputusan yang adil dan arif dari berbagai kepentingan yang bertemu di pasar. Para pendukung paradigma pasar bebas telah melakukan berbagai upaya akademis untuk meyakinkan bahwa pasar adalah sebuah sistem yang mandiri (self regulating), mekanisme yang dapat mengatur dirinya sendiri, tanpa pengaturan melalui peraturan atau bentuk intevensi-intervensi lainnya.
Free competition , Free market dianggap sebagai mekanisme pasar yang ”sempurna” tidak terlepas dari asumsi-asumsi dasar atau mitos-mitos kapitalisme Smithian, yaitu bahwa : 1) Kebutuhan manusia tidak terbatas; 2) Sumber-sumber ekonomi yang relatif terbatas; 3) pengejaran akan pemenuhan maksimal kebutuhan individu (utility maximization of self-interest) yang relatif tak terbatas. Kemudian konsekuensi tiga landasan asumsi ini berkelanjutan dengan suatu anggapan bahwa akhlak dasar manusia adalah bertarung dan saling berebut, yang melahirkan gagasan tentang berlakunya perfect individual liberty . Landasan asumsi tersebut menurut Thurow merupakan asumsi dasar yang kelewat simplistik, bahwa manusia rasional adalah manusia yang berdasar inisiatif individunya mengejar utilitas ekonomi optimal, yang mencari maximum gain dan minimum sacrifice, dimana ia bersaing dalam mekanisme pasar, yang menjadi aktor bebas di pasar bebas dan berpedoman pada individual freedom of action atau kebebasan bertindak.
Kritik terhadap teori Adam Smith sebenarnya telah disampaikan oleh Hatta perihal self-intrested sebagai berikut: ...teori Adam Smith berdasar kepada perumpamaan homo economicus, yakni mahluk ekonomi, yang mengetahui kedudukan pasar, yang pandai berhitung secara ekonomi dan rasional, dapat menimbang sendiri apa yang beruntung bagi dia dan apa yang merugikan dan kemudian ia sama kuat dan sama paham dengan lawannya. Akan tetapi mahluk ekonomi seperti lukisan ini hanya ada dalam dunia pikiran, sebagai dasar bekerja bagi penyelidik ilmu, dan tidak ada dalam masyarakat yang lahir, yang menyatakan satu golongan kecil yang aktif dan bermodal cukup, yang memutuskan segala soal ekonomi; dan satu golongan besar, orang banyak yang pasif dan lambat, yang tiada mempunyai tenaga ekonomi; yang penghidupannya terserah kepada keputusan golongan yang pertama... sebab itu dalam praktik laisser stelsel- persaingan merdeka dll- tidak bersua maksimum kemakmuran yang diutamakan oleh Adam Smith, ia memperbesar mana yang kuat, menghancurkan mana yang lemah...”.
Perkembangan ilmu ekonomi yang makin meninggalkan etika dimulai oleh David Ricardo (1817) yang mengenalkan ilmu ekonomi “a priori” yang abstrak, dan mengajarkan ilmu ekonomi yang seakan-akan tidak ada hubungannya dengan manusia (depersonalized). Manusia diubah menjadi “model” abstrak homo-economicus, yang sangat mudah dianalisis dengan menggunakan model-model matematika. Model “homo-economicus” yang menonjolkan self-interest atau “keserakahan manusia atas alam benda”, bertentangan dengan ajaran berbagai agama, karena dalam agama selalu diajarkan “rezeki yang berlimpah” (abundance) yang diberikan Allah kepada manusia. Mereka bersikukuh bahwa sistem pasar bebas adalah objektif-ilmiah dan “bebas dari ideologi”, tanpa menyadari bahwa kepercayaan yang terlalu besar dan “membabi buta” terhadap kemampuan pasar untuk memecahkan segala konflik juga merupakan ideologi tersendiri. Inilah yang kelak disebut fundamentalisme pasar yang mengira pasar selalu akan mampu memecahkan dan mengubah disharmoni menjadi harmoni. Bahkan kepercayaan bahwa pasar adalah bebas nilai (value free) jelas merupakan ideologi sendiri.
Namun asumsi-asumsi yang melandasi free competition, liberalisasi ekonomi tidak sesuai dengan realitas sesungguhnya. Sebuah persaingan yang benar-benar atau sehat akan terjadi jika pihak-pihak didalamnya memiliki kekuatan yang seimbang yaitu kepemilikan modal dan kapital, keahlian, kemampuan teknologi, kepemilikan informasi yang sama terhadap pasar (tidak asimetris informasi). Ketika seluruh dunia boarderless, yang mengakibatkan setiap entitas bisnis diseluruh dunia berhadapan bersaing satu sama lain, walaupun tidak sesuai dengan asumsi persaingan diatas, karena tidak semua pihak yang bersaing memiliki kekuatan seimbang dengan pihak lainnya. Etzioni bahkan mengatakan persaingan pasar sempurna tidaklah empirik, karena bagaimanapun dalam konteks persaingan untuk mendapatkan pemenang kekuasaan (power) adalah bawaan manusia, maka monopoli adalah ’the rule”. Dan mekanisme pasar bebas adalah persaingan untuk mendapatkan pemenang. Robert Frank dan Philip J.Cook menyebutkan mekanisme pasar bebas hanya akan melahirkan pemenang, dimana pasar ini telah membuat disparitas yang jelas antara si kaya dan si miskin. Pasar ini menciptakan orang-orang yang paling berkeahlian/berbakat hingga orang-orang yang secara sosial tidak produktif, bahkan juga orang-orang yang sifatnya destruktif. Pada ekonomi yang yang sifatnya berinvestasi untuk masa depan, orang-orang tersebut telah didorong menjadi tipe yang tidak berguna untuk kegiatan investasi dan konsumsi.
Bahkan mekanisme Open Market dianggap telah mereduksi manusia sebagai sumber daya insani menjadi sumber daya manusia atau faktor produksi ekonomi belaka. Mekanisme pasar bebas adalah mekanisme persaingan atau “ekonomi peperangan” (free fight), dimana para pelaku didalamya adalah homo economicus yaitu mahluk yang bertujuan mendapatkan manfaat ekonomi sebanyak-banyak dan maksimalisasi profit, dengan cara yang seefisien mungkin (baca dalam cara apapun asal menurunkan biaya produksi, motif profit oriented- mendorong ekonomi untuk memperoleh keluaran efisien) tanpa mengindahkan pihak-pihak yang lemah, pihak-pihak yang tersubordinasi. Mekanisme persaingan adalah mekanisme yang akan saling menyerang untuk menjatuhkan satu sama lain untuk menentukan pemenang yang kemudian akan menjadi pihak dominan The-Winner-Take-All Society.
Amartya Sen mengemukakan kenyataan bahwa ilmu ekonomi telah berkembang, yang dibentuk oleh motivasi manusia namun dalam pandangan yang sempit. Ilmu ekonomi seharusnya menekankan pada “real people” , dan hal tersebut tidak berdampak sepenuhnya melalui “self-examination” yang menjawab pertanyaan Socrates : bagaimana selayaknya manusia hidup (How should one live?). Aristoteles menghubungkan subjek ekonomi dengan kebutuhan akhir manusia , yaitu kemakmuran (wealth). Namun penekanan kemakmuran disini lebih dari hanya sekedar money-making yang dipandang sebagai tindakan kompulsif semata.
Dalam pandangan Sen terdapat dua Isu sentral sebagai landasan ilmu ekonomi yaitu:
1. The ethics-related view of motivations. Berkaitan dengan masalah motivasi manusia sehubungan untuk menjawab pertanyaan etika : “ Bagaimana selayaknya seseorang hidup”? (How should one live?). Penekanannya pada bahwa pertimbangan-pertimbangan etika tidak secara keseluruhan tidak berkait dengan perilaku aktual manusia. Pendekatan–engineering- , dikarakteristikan berkait secara utama pada isu logistik dibanding dengan tujuan akhir dan menjawab pertanyaan terkait dengan “the good for man” atau : How should one live”. Turunan pendekatan ini lebih banyak pada penekanan masalah-masalah teknik berkait dengan ilmu ekonomi, khususnya berkait dengan fungsi pasar.
2. The ethics-related view of social achievement. Aristoteles mengemukakan pada tujuan akhir dari pencapaian pada tujuan terbaik untuk manusia “the good for man”, yang kemudian lebih ditekankan pada pencapaian tujuan terbaik bagi Negara atau masyarakat. Dan hal ini akan mendasari ilmu ekonomi modern.
Namun sekali yang terjadi adalah Pengindahkan pendekatan etika , dikarenakan perhatian lebih ditujukan hal-hal yang terkait dengan ilmu ekonomi logistik , pencarian efisiensi, walaupun dalam fomat pandangan yang dibangun atas konstruk motivasi dan perilaku manusia yang bersifat non-etika. Sen menambahkan terjadi pemarginalan asumsi terkait dengan self-interested behavior dalam ilmu ekonomi telah menghalangi analisa-anliasa hubungan antara ilmu ekonomi dan etika. Teori ekonomi mainstream, bagaimanani telah mengidentifikasikan rasionalitas perilaku manusia dengan konsistensi internal atas pilihan dan lebih jauh lagi dengan maksimalisasi kepentingan pribadi. Namun Sen mencatat pula bahwa tidak ada bukti yang mengatakan bahwa maksimalisasi kepentingan pribadi akan menghasilkan pencapaian terbaik pada konsidi ekonomi optimal.
Peran Etika
Sebenarnya peran etika dalam aktivitas ekonomi telah dibahas jauh hari, tesis Max Weber yang dipublikasikan dalam buku “The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism” menjelaskan bahwa “Etika Protestan” dan hubungannya dengan “semangat kapitalisme” ( berkaitan dengan aktivitas ekonomi manusia). Berdasarkan penelitian Weber di kalangan Protestan sekte Calvinis, kerja keras adalah suatu keharusan bagi setiap manusia untuk mencapai kesejahteraan. Kerja keras adalah panggilan rohani untuk mencapai kesempurnaan hidup, sehingga mereka dapat hidup lebih baik secara ekonomi.
Kemudian Wilson pada studinya dalam bukunya “Economics, Ethics and Religion: Jewish, Christian and Muslim Economics Thought “menjabarkan mengenai sebenarnya aktivitas ekonomi yang dilakukan manusia tidak dapat dipisahkan dari konsepsi etika, dan etika telah diposisikan dalam semua ajaran agama yang ada. Pada tiga agama besar ini terdapat kesamaan yaitu bahwa terdapat hubungan yang erat antara aktivitas manusia dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari dengan konsepsi imbalan dan balasan. Kemudian juga bahwa dalam ketiga agama besar ini mendenisikan kembali rasionalitas aktivitas –aktivitas manusia asalah satunya aktivitas ekonomi adalah bertujuan berketuhanan. Bahwa keberadaan manusia sebagai mahluk ekonomi tidak dibatasai oleh kegiatan manusia dalam pemenuhan kesejahteraan mereka sendiri, namun terdapat kesadaran bahwa kepemilikan sesuatu di dunia bersifat hanya sementara saja, kemudian terdapat penekanan bahwa terdapat hak sosial dari setiap kepemilikan dari manusia , yaitu bahwa ada ada hak orang miskin pada harta orang kaya .
Konteks etika dalam Bisnis
Dawam Rahardjo mengatakan etika bisnis beroperasi pada tiga tingkat, yaitu; individual, organisasi, dan sistem. Pada tingkat individual, etika bisnis mempengaruhi pengambilan keputusan seseorang, atas tanggungjawab pribadinya dan kesadaran sendir. Pada tingkat organisasi, seseorang sudah terikat kepada kebijakan perusahaan dan persepsi perusahaan tentang tanggungjawab sosialnya. Pada tingkat sistem, seseorang menjalankan kewajiban atau tindakan berdasarkan sistem etika tertentu. Realitasnya, para pelaku bisnis sering tidak mengindahkan etika. Nilai moral yang selaras dengan etika bisnis, misalnya toleransi, kesetiaan, kepercayaan, persamaan, emosi atau religiusitas hanya dipegang oleh pelaku bisnis yang kurang berhasil dalam berbisnis. Sementara para pelaku bisnis yang sukses memegang prinsip-prinsip bisnis yang tidak bermoral, misalnya maksimalisasi laba, agresivitas, individualitas, semangat persaingan, dan manajemen konflik . Dikemukakan juga bahwa dalam bisnis itu pada dasarnya berasaskan ketamakan, keserakahan, dan semata-mata berpedoman kepada pencarian laba.
Etika dalam Islam:
Telah dijabarkan sebelumnya bahwa dalam semua agama besar etika tidak dapat dipisahkan dengan dalam tindakan-tindakan /aktivitas-aktivitas manusia dalam seluruh sendi kehidupan.
Umar Chapra mendefinisikan ” ekonomi islam sebagai suatu cabang pengetahuan yang membantu merealisasikan kesejahteraan manusia melalui suatu alokasi dan distribusi sumber-sumber daya langka yang seirama dangan maqasid, tanpa mengekang kebebasan individu, menciptakan ketidakseimbangan makro ekonomi dan ekologi yang berkepanjangan, atau melemahkan solidaritas keluarga dan sosial serta jaringan moral masyarakat” Dalam penerapan ekonomi islam terdapat tiga pilar utama yang meliuti:
1) Keadilan; Apabila keadilan ini tidak dijadikan tujuan pembangunan sistem ekonomi maka sangat mustahil masyarakat ideal dapat ditegakkan; 2) Keseimbangan ; Ekonomi keseimbangan sendiri merupakan pandangan islam terhadap hak individu dan masyarakat yang diletakkan dalam neraca yang adil . dalam praktiknya ekonomi islam ini menerapkan keseimbangan antara modal dan usaha, antara produksi dan konsumsi antara produsen perantara dengan konsumen dan antara golongan-golongan dalam masyarakat; 3) Ukhuwwah yang meletakkan tata hubungan bisnis dalam konteks persaudaraan universal untuk mencapai kesuksesan bersama.
Dan prinsip-prinsip tersebut menurunkan landasan etika (akhlaq) entitas ekonomi dalam beraktivitas ekonomi dalam Islam. Oleh karena itu, sebuah sistem ekonomi yang berlandaskan nilai Islam perlu di ejawantahkan dalam aktivitas ekonomi yang telah di contohkan oleh Rasulullah Saw dalam aktivitas bisnisnya yaitu terdiri dari :
1. Kejujuran.
Sesuatu yang dipercayakan kepada seseorang, baik harta, ilmu pengetahuan, dan hal-hal yang bersifat rahasia yang wajib diperlihara atau disampaikan kepada yang berhak menerima, harus disampaikan apa adanya tidak dikurangi atau ditambah-tambahi
يأيها الذين امنوا اتقوا الله وكونوا مع الصادقين #
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan
hendaklah kamu bersama orang-orang yang jujur”
(Q.S. al-Taubah: 119)
2. Keadilan
Islam sangat mengajurkan untuk berbuat adil dalam berbisnis, dan melarang berbuat curang atau berlaku dzalim. Rasulullah diutus Allah untuk membangun keadilan. Kecurangan dalam berbisnis pertanda kehancuran bisnis tersebut, karena kunci keberhasilan bisnis adalah kepercayaan. Al-Qur’an memerintahkan kepada kaum muslimin untuk menimbang dan mengukur dengan cara yang benar dan jangan sampai melakukan kecurangan dalam bentuk pengurangan takaran dan timbangan.
واوفوا الكيل اذا كلتم وزنوا بالقسطاس المستقيم ذالك خير وأحسن تأويلا
(الإسراء:35)
“Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah
dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
(Q.S. al-Isra’: 35)
3. Barang atau produk yang dijual haruslah barang yang halal, baik dari segi dzatnya maupun cara mendapatkannya. Berbisnis dalam Islam boleh dengan siapapun dengan tidak melihat agama dan keyakinan dari mitra bisnisnya, karena ini persoalan mu’amalah dunyawiyah, yang penting barangnya halal. Halal dan haram adalah persoalan prinsipil. Tidak Ada Unsur Penipuan atau al-tadlis / al-ghabn sangat dibenci oleh Islam, karena hanya akan merugikan orang lain, dan sesungguhnya juga merugikan dirinya sendiri.
Berdasarkan paparan diatas, kesadaran bahwa menjunjung tinggi etika dalam aktivitas ekonomi mulai harus ditanamkan dan dijadikan acuan secara mikro oleh setiap personal, namun secara makro, adalah pemerintah sebagai Oleh karena itu berdasarkan prinsip ekonomi Islam diatas pemerintah memiliki peran besar dalam membangun kebijakan-kebijakan yang berkeadilan yaitu membebaskan individual untuk bebas berusaha , dan ditekankan seluas-luasnya untuk kesejahteraan rakyat misalnya kebijakan fiskal tanpa meninggalkan fungsi distributifnya, kebijakan publik yang lebih berfokus pada pemenuhan basic human needs, dimana pengadaan market good dan privat good (kesehatan, pendidikan, peningkatan SDM, pengembangan Iptek dll) harus lebih banyak diserahkan kepada swasta melalui mekanisme pasar, hanya saja untuk mencegah distorsi pemerintah harus meletakkan Undang-undang dan peraturan, dan melibatkan lembaga hisbah untuk menjaga kepentingan masyarakat dan mencegah tindakan yang tidak adil oleh pemerintah sebagai pengembang amanah “hak” dari Allah. Peran pemerintah tidak tereduksi oleh mekanisme pasar, yang membatasi intervensi pemerintah terhadap pasar.
Pemerintah bertanggung jawab menciptakan iklim dimana korporasi-korporasi besar melaksanakan tanggung jawab social (Corporate Social Responsibilty), atau setidak-tidaknya harus membayar external diseconomies yang ditimbulkan. Kemudian kebijakan untuk mendorong pembentukan-pembentukan unit-unit usaha yang bersifat kerjasama dan kekeluargaan (sesuai dengan prinsip ukhuwah), yaitu dengan membrikan iklim dan insentif terhadap perwujudan kelembagaan ekonomi di tingkat mikro.
Dalam menghadapi modernisasi dan globalisasi dimana akan ada proses transformasi dari unit-unit skala bisnis kepada unit skala besar atau menengah yang lebih mampu merespon pasar, timbulnya usaha kecil mikro/rumah tangga yang modern, dimana kecenderungan ini akan mendukung kebutuhan fiskal, dan peranan pemerintah akan semakin besar karena semakin meningkatnya pengaturan . Dalam konteks ekonomi Islam , peran pemerintah pada umumnya cenderung ditempatkan pada peranan aktif, baik dalam penerapan undang-undang, mengendalikan ekonomi kearah perkembangan ekonomi yang lebih stabil, mencegah pengangguran, dan kemerosotan daya beli masyarakat dan melibatkan usaha redistribusi pendapatan dan kekayaan (pajak, zakat, dll) sehingga tidak timbul kepincangan dan ketidakadilan.
referensi:
Al Qur'an
Sri Edi-Swasono, Ekspose Ekonomika: Mewaspadai Globalisme dan Pasar Bebas, (Pusat Studi Ekonomi Pancasila-UGM, 2008).
Adam Smith (1723-1790) dengan bukunya An Inquiry into the Nature and Causes of The Wealth of Nations, New Rochelle,, N.Y : Arlington House, 1966.
Lester.C.Thurow, The Dangerous Currents: The State of Economics (New York : Random House, 1983) p.218
Muhammad Hatta, Krisis Ekonomi dan Kapitalisme (Batavia-C.: Soetan lembaq Toah & Fa, 1935 hal 78 )
Amitai Etzioni, The Moral Dimension: Toward A New Economics (New York: The Free Press, 1988)
Amartya Sen, On Ethics & Economics (Basil Blackwell, 1987) hal 1-3
Robert Frank dan Philip J. Cook: The Winner-Take-All Society. New York: Martin Kessler Books at The Free Press 1995.
Mubyarto dkk.1991. Etos Kerja dan Kohesi Sosial. Yogyakarta: Aditya Media.
Rodney Wilson, Economics, Ethics and Religion: Jewish, Christian and Muslim Economics Thought (New York, New York University Press, 1997).
Dawam Raharjo, “Etika Bisnis Menghadapi Globalisasi dalam PJP II (Prisma, No. 2. Jakara: LP3ES) hal 13.
M.Umer Chapra, The Future of Economic: An Islam Perspective (The Islamic Foundation, 2000). hal 121