Menjawab keingintahuan atas semantik ingatan ku, tentang tontonan favorit masa kecil, yang tiada lepas dari memori ingatan. Masa kecil di kota kecil, membuat ku akrab dengan pementasan Ketoprak Siswobudoyo yang beberapa bulan sekali mampir di kotaku. Ku pun akrab dengan beberapa tema panggung ketoprak yang selalu menggunakan sejarah mataram hindu hingga mataram Islam sebagai background cerita. Puluhan tahun sudah ku tak pernah lagi menonton pementasan ketoprak, namun masih tertanam kuat pada chunk memory ku dua cerita yang mungkin menjadi cerita favoritku pada pementasan ketoprak yaitu kisah tentang Aryo Penangsang dan Kisah Suminten edan.
Kesempatan tugas luar di Cepu di daerah yang terpencil, mengharuskan ku untuk melihat google map untuk melihat di mana ku bertugas. Tiba-tiba ku baca tulisan Jipang-Panolan yang kemudian me-recalled impuls ingatan ku tentang cerita pementasan Ketoprak Siswobudoyo yang paling aku sukai. Ya Aryo Penangsang, sosok itu sangat membekas di ingatan ku, yang mungkin adalah manifestasi ingatan masa kecilku atas disclosure penangkapan ku atas cerita ketoprak tentang sejarah kemelut kerajaan demak. Sosok itu begitu melekat di benakku, tentang kudanya, pertempuran di sisi bengawan solo, dan sosoknya yang gagah (karena mungkin dulu di mainkan oleh Suyadi, leading actor yang selalu memerankan tokoh-tokoh penting di Siswobudoyo).
Scene cerita pementasan yang masih terlalu kuat di ingatanku, adalah klimaks pementasan yaitu pertempuran antara dua orang dengan tombak terhunus dan Aryo Penangsang dengan usus bersimbah darah yang keluar dari perutnya, kemudian pertempuran berakhir tragis ketika Aryo Penangsang tercerabut ususnya ketika mengambil kerisnya. Terlepas penokohan antagonis nya berhadapan dengan Hadiwijaya, ku mengagumi sosok nya. Mungkin penilaian masa kanak-kanakku terpengaruh debat mama-papa tentang cerita polemik politik kerajaan masa silam ini. Betapa mama tidak simpatik dengan cara Hadiwijaya menggunakan kuda betina untuk menghalangi laju kehebatan kuda Aryo Penangsang yang dianggap tidak gentle, sedangkan papa menganggap Aryo Penangsang terlalu pemberang dan emosional karena belum mampu menyudahi penggenapan puasa 40 harinya.
Puluhan tahun berlalu, tiba-tiba lampu bohlam ku berkelip cepat, dan ku segera menyambar kamera dan menuju ke kecamatan Jipang-Panolan. Bayangan scene-scene pementasan Siswobudoyo juga ter-retrival pelan-pelan menemani perjalanan siang itu. Tidak jauh sebenarnya perjalanan dari pusat kecamatan Cepu, 20 menit kemudian jalan berujung menjadi dua belokan kiri tertulis Jipang - kanan tertulis Panolan. Ku berhenti sebentar, sambil bertanya masih adalah sisa-sisa kerajaan tersebut, warga yang kebetulan di warung menjawab ramah dengan mengatakan tidak ada.
Belokan ke arah Jipang, sepanjang jalan menyisi pinggiran bengawan solo yang tenang siang ini. Hingga ku tiba di pemakaman kampung sederhana, ya seperti layaknya pemakaman desa dengan pohon pohon besar meneduhi dan pagar batu bata mengelilinginya serta tertulis jelas Makam Gedong Ageng Jipang. Pak ojek yang menyertai ku menunjukkan makam yang di kelilingi kain putih yang sudah lusuh yang langsung dapat terlihat jelas dari depan adalah makam Aryo Penangsang.
Tak berlama ku disana, ku memilih untuk menelusuri jalanan aspal desa itu dengan berjalan kaki, memasuki gang kecil yang mengarah pinggir Bengawan Solo, melewati beberapa lahan tanah dengan pohon jati dan beberapa tananaman ketela pohon. Ku bertemu dengan seorang kakek yang sibuk mencangkul tanah persis di pinggir Bengawan Solo, Mbah Min namanya. Menyapa, bertegur sapa beliau tersenyum ramah. Jadilah kami duduk bertiga persis di pinggir bengawan aku, Mbah Min dan tukang ojek. Beliau bertanya pertanyaan standar asal usul dan keperluan ku datang ke sana, begitu mengetahui ku hanya ingin melihat asal-usul tokoh ketoprak favoritku, mulai lah beliau bercerita. Bagi warga Jipang, sosok Aryo Penangsang adalah sosok pemimpin yang hebat, sosok yang pemberani, tegas, kasar, tanpa basa-basi, temperamental, namun jujur terhadap nuraninya dan sosok yang tanpa takut berjuang untuk apa yang diyakininya. Warga Jipang sangat mengagumi sosok Aryo Penangsang hingga saat ini . Hanya saja polemik perebutan kekuasaan dan tahta adalah penyakit manusia yang tak berakhir dari dulu hingga sekarang, begitu Mbah Min menambahkannya.
Pandangan ku beralih menelusuri sepanjang aliran sungai, Mbah Min kemudian menambahkan didaerah aliran sungai yang berada di sekitar makan, warga tidak ada yang berani menambang pasir, menurut beliau ada kepercayaan kualat atau mendapat sial jika menambang pasir di sana. Sore segera menjelang, ku sudahi pertemuan kami sambil berucap pamit tiba-tiba Mbah Min berucap untuk jangan takut berjuang terhadap apa yang di yakini, dan itu membuat ku terharu. Sore itu perjalanan iseng dan hanya di dasarkan keingin tahuan pada sosok favorit dan lakon favorit di ketoprak Siswobudoyo itu berakhir dengan menyenangkan, Maturnuwun Mbah Min...maturnuwun.
@Jipang Cepu - Nia 2011
0 comments:
Post a Comment